Memiliki rumah sendiri pastinya
impian bagi semua orang, termasuk saya. Namun bagi saya, yang masih ipit-ipit
jadi PNS tahun 2009, plus bersuami pegawai swasta biasa, punya rumah sendiri
adalah sebuah mimpi yang jaauuuhhh di atas awang-awang. Waktu masih manten anyar,
saya masih ayem-ayem saja nebeng di rumah Ibu dan Bapak, toh memang suami waktu
itu masih kerja di Kediri, dan adek saya masih kuliah di Semarang, jadi
itung-itung nemenin orangtua tinggal. Tapi setelah mas Ahsan diterima kerja di
Bandung dan menjadi pegawai tetap disana, maka pelan-pelan kami ingin membangun
mimpi kami, punya rumah sendiri.
“Paling lambat anak kita usia 2
tahun kita harus punya rumah sendiri ya Mas”, itu dulu komitmen kami berdua. Bukan
apa-apa. Harga rumah makin tahun pastinya makin naik. Uang tabungan kalo gak
cepet-cepet di pake buat DP rumah, pasti deh habis kepake-pake buat yang lain. Bisa
di bilang kami nekat. Hanya mengandalkan uang tabungan kami di tabungan saja,
yang sudah kepotong tiap bulan dengan tabungan pendidikan anak, kami mantapkan
tahun ini harus beli rumah.
Bukan rumah luas dengan pintu
besar. Atau rumah mewah di kawasan tengah kota dengan harga di luar kemampuan
kami. Tidak. Hanya sebuah rumah sederhana, yang ada pojok tempat membacanya
berisi deretan buku-buku jendela ilmu. Dengan lingkungan yang bersahabat jauh
dari polusi udara dan bisingnya suara. Ada taman kecil untuk berkebun anak-anak
kami kelak. Sebuah kamar kecil berwarna biru yang setiap malam terdengar suara
ayah bunda mendongengkan kedua anaknya. Dapur mungil berisi selusin piring dan
gelas-gelas bersih serta sekeranjang buah menunggu untuk dimakan bersama. Rumah
yang berlimpah dengan kasih sayang, gelak tawa, kehangatan dan kebersamaan
antara Ayah-Bunda-Kakak dan Adek kelak. Bukan mimpi yang muluk kan?
Hari pertama bulan Ramadhan,
pencarian pun kami mulai. Pertimbangan utama kami yang pertama adalah rumah
harus deket dengan kantor. Kebetulan calon kantor saya dan kantor suami hanya
berjarak 300 meter dalam satu jalur di jalan by pass Soekarno-Hatta Bandung.
Benar-benar seperti sudah di set sama Gusti Allah bahwa kami insyaAllah
berjodoh tinggal di Bandung. Di Jakarta, saya harus menempuh perjalanan 1,5 jam
setiap pagi dan setiap sore. Total 3 jam saya habiskan di jalan. Duh Gusti… Kadang
ketika capek luar biasa mendera, saya pengen nangis. Keinginan saya dari dulu
hanya satu, pengen rumah saya deket dengan kantor. Tapi kantor saya di Jakarta
Pusat, sangat impossible sekali saya punya rumah di kawasan Menteng! Oh
tidaaakkk….. pajaknya aja gak mampu bayarrrr……
>.<
Mulai dari daerah Antapani,
Margahayu, Margacinta, Gede Bage, Buah Batu, Ciwastra, kami centang dalam list
perumahan yang akan dikunjungi. Hari pertama-weekend pertama kami muter-muter
saya lagi halangan, jadi bisa meneguk segarnya air ples makan siang di tengah
teriknya Bandung, hee.. Weekend kedua, kami muter-muter lagi. Eh kami muter-muternya
pake motor, jangan di bayangkan di dalam mobil dengan AC yang dingin dan sejuk.
Hari itu kami berdua sama-sama shaum. Di saat dhuzur tiba, kami tepar di satu
masjid daerah Ciwastra, sampe ketiduran bentar, hihihihi..
Empat kali weekend kami muterin
kota Bandung, udah banyak aja brosur-brosur di tas ransel saya. Kami mulai
menyortir satu persatu. Yang akses jalan ke sananya banjir, coret. Yang
kompleksnya gak ada masjidnya, coret. Yang harganya di atas harga kemampuan
kami, coret. Yang cicilannya di atas gaji saya, coret. Yang indent 6 bulan,
coret. Setelah semua di sortir, akhirnya di dapatlah dua pilihan.
Buat kami, membeli rumah itu
seperti memilih jodoh. Kami bukan setahun dua tahun akan tinggal di situ, tapi sampe
kelak anak cucu kami hadir *ta’elaaahh*. Maka semua pertimbangan mulai dari
bobot, bebet dan bibit kami pikirkan, tentu saja yang sesuai dengan batas
kemampuan kami. Dan yang paling utama adalah harus di istikharohi. Supaya rumah
yang kami pilih, kelak benar-benar membawa banyak manfaat daripada mudharotnya.
Pun akan membawa banyak berkah dan rejeki bagi semua anggota keluarga kami
kelak.
Lebaran tahun ini ketika kami
mudik ke Demak dan Sragen, kami meminta doa restu ke mbah-mbah dan tentu saja
orang tua kami berdua.
“Walah.. cah cilik kok wes iso
tuku omah..” (walah, anak kecil kok udah bisa beli rumah)
Begitu komentar mbah-mbah kami,
baik yang di Demak ataupun di Sragen, heeee… Lha wong namanya aja nekat kok
mbah… ya wes Bismillah aja.
Bulan September, akhirnya kami
memantapkan pilihan. Mulai dari menggabungkan uang tabungan saya (simpanan dari
pokja pemilu 2009, hihihi), uang simpanan mas Ahsan, di templokin uang pinjaman
dari kantor mas Ahsan, dibantu di tambahin oleh orangtua (namanya disumbang mah
gak boleh ditolak), akhirnya Alhamdulillah.. terkumpul jumlah separonya harga
rumah itu. Yang separonya lagi kami ajukan KPR. Pilihan kami ke Bank Syariah
Mandiri, sistemnya yang murabahah membuat kami tidak tercekik setiap bulannya. :)
26 September 2012, kami melakukan
akad jual beli di Bandung. Sah! Alhamdulillahi robbil’alamin… Sekarang kamu
punya rumah Nduk….. :)
Dan sehari setelah Idul Adha kemarin, kami mulai boyongan bawa mobil pick-up
dari Jakarta untuk mengisi rumah. Rumah kami kecil mungil, rumah second tipe 42
dengan luas tanah 90m. Tapi saya suka dengan lingkungannya. Hunian cluster
menjadi pertimbangan dasar kami. Dengan sistem satu pintu dan keamanan 24 jam
membuat kami merasa tenang. Karena kami di Bandung benar-benar hidup berdua,
jauh dari orangtua dan saudara. Nantinya ketika kami berdua bekerja, anak hanya
dengan si embak. Tapi yang membuat saya senang sekali adalah, jarak antara
rumah ke bakal kantor saya hanya 15 menit naik motor. Yippppiii… Kebayang saya
masih sempat antar anak sekolah, kalo istirahat siang bisa pulang barang 1,5 - 2
jam dirumah. Sore sebelum jam 4 saya sudah bisa tiba dirumah dengan kondisi
yang tidak suntuk dan capek dengan macet. Belum lagi si ayah, yang kantornya
lebih deketan lagi dari rumah. Fuiiihh… membayangkan saja saya sudah
bahagiaaaaa….. :)
Mulai masuk kompleks, banyak
pohon-pohon pinus di kanan kiri jalan. Pun demikian ketika masuk ke cluster
tempat kami tinggal. Setiap rumah ada pohon cemara dan pohon pinusnya. Asri..
sekali, dan rapi. Rumah-rumahnya tidak berpagar. Kesannya jadi “gak sombong”. Jalanannya
lebar dan bersih. Di pagi hari banyak rombongan orang-orang lari pagi di jalan
utama. Udaranya masih bersih dan teduh. Pertama kali datang kami langsung sowan
ke rumah pak RT setempat. Orangnya sangat ramah dan welcome. Begitu juga
tetangga kanan kiri, langsung welcome begitu kami mengajak berkenalan. Masjid gak
jauh dari rumah. Kebayang Qey akan naek sepeda tiap sore untuk berangkat ke
TPQ. Sekolah ada diluar kompleks tapi bisa lewat jalan belakang, jadi gak perlu
ke jalan raya besar. Benar-benar rumah impian kami berdua.
Saat ini rumah kami belum ada rak
dapurnya, belum ada meja tamunya, belum ada meja makannya, bahkan belum ada
tirainya, hihihihihihi…. Nanti akan di cicil dengan berjalannya waktu. Toh saya
masih di Jakarta, sementara rumah di tinggali dulu oleh mas Ahsan sambil
menunggu proses mutasi saya ke Bandung.
Baitin Jannati, rumahku surgaku. Semoga
kelak akan berisi banyak kehangatan, kasih sayang, cinta, kebersamaan dalam
beribadah, lantunan ayat-ayat Allah SWT, nyanyian riang anak-anak, gelak tawa
ketika saling bercerita dan kekompakan ketika mendapatkan kesulitan, amin..
amin.. Ya Allah..
Hihihihi... kemarin sibuk bebenah malah lupa foto rumahnya, foto yang dari agent nya
dulu, ntar menyusul foto-foto yang laen.
Pinus Regency Soekarno Hatta, Cluster Kilimanjaro No. 171 Bandung