“Di Padang gak ada apa-apa Ka’…. Kalo mau jalan-jalan mending ke Bukittinggi, sekitar 3 jam dari kota Padang”.
Begitu
komentar teman-teman saya ketika tau saya dapat jatah dinas ke Provinsi Sumatra
Barat.
Langsung lah
saya iming-imingi patner dinas saya, Mbak Erin, buat ngrayu Pak Eko, Wakaro
Keuangan, yang juga satu rombongan dalam perjalanan dinas kali ini.
“Ayo lah
Mbak, dirayu-rayu Bapak’e, masak mau tidur di hotel terus..”. Pasang muka
paling melas pokoknya.
Dasar staf
gak tau diri kali yak kami nih, akhirnya pas kami berdua ngadep, rayuan maut
itu pun kami lontarkan, hkhkhkhkhhkkhk..
Etapi berbuah manis donk… Pak Eko satuju!! Horeeee….
Berangkat
hari Senin pesawat paling pagi jam 6.20, kami tiba di Padang sekitar pukul 8. Oiya,
pada akhirnya kami berangkat berenam, karena bareng dengan rombongan laen yang
beda surat tugas. Ditemani dengan hawa panas dan teriknya kota Padang, hari
pertama kami habiskan waktu full di kantor Provinsi hingga lepas maghrib, kerja
beneran gitu lhoh… *preeettt*
Hari kedua,
saatnya jalan-jalan, hasseeekk… Tapi yang namanya punya predikat “orang pusat”, rencana cuman
mau mampir ke Provinsi buat ambil data doang, wedalah malah di curhati sana
sini, gak tanggung tanggung, mulai dari
Ketua, Anggota sampe Sekretaris. Gak selesai-selesai ngobrolnya, Isshh…. Mangkel. Jadilah kami baru berangkat dari Padang jam 11 siang.
Diselingi makan siang dengan menu masakan Padang di tengah jalan, finally kami
tiba di Bukittinggi sekitar jam 13.30. Oiya ngomong-ngomong soal makan, jangan
harap ya nemu restoran masakan Padang di Padang. Gak percaya? Cedikot sendiri
gan!! ^^
Hawa adem
(bukan dingin ya) mulai terasa ketika menginjakkan kaki di Kota Bukittingi.
Gunung Singgalang dan Merapi mengapit kota tersebut. Yang pertama di tuju
adalah Istana Bung Hatta, letaknya tepat di depan Jam Gadang, lambangnya Kota
Bukittingi. Sebenernya Istana Bung Hatta gak boleh dimasukin orang sembarangan, bukan
buat umum. Tapi karena The Power of Plat Merah, kami langsung dibukaan pintu
sama petugasnya, hee… Setelah sholat di dalam, kami keliling-keliling dan futu-futu.
Halamannya luas dan asri dengan pohon-pohon palm dan cemara serta dikelilingi
pagar tembok yang rendah. Di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang makan, kamar
tidur yang semuanya masih terawat dan bersih. Terdapat pelaminan khas Minang
juga didalamnya. Sayangnya semua perabotannya mulai dari sofa, meja, kursi
makan semuanya mebel-mebel baru, mebel jaman sekarang. Jadi berasa ilang nuansa
kolonialnya. Tapi nuansa kesederhaannya tetap terasa, semua serba sederhana,
gak ada yang mewah. Sang proklamator kita satu ini memang terkenal dengan kesederhanaanya.
Puas futu-futu, kaki kami melangkah
ke jalan depan Istana Bung Hatta. Jam Gadang, maskotnya kota Bukittinggi. Didirikan
oleh Controleur Rook Maker pada tahun 1926 yang berlokasi di pusat kota. Dikelilingi
oleh taman bunga dan pohon-pohon pelindung, yang dapat memberikan kesejukan dan
berfungsi sebagai alun-alun kota. Dari puncaknya kita dapat rnenikmati dan
menyaksikan betapa indahnya alam sekitar Bukittinggi vang dihiasi Gunung,
Merapi, Gunung Singgalang, Gunung Sago dan Ngarai Sianok. Sayang kami gak
sempat naek, karena waktu sudah mepet. Disekitar Jam Gadang ini juga dibangun taman yang menambah semarak dan
indahnya lokasi tersebut dengan berbagai bunga dan pepohonan serta fasilitas
tempat duduk dan digunakan untuk menikmati pemandangan kota yang sangat menawan,
sambil menikmati makanan.
Di seberangnya ada Plaza
Bukittingi. Ada pasar bawah ada pasar atas. Disitu dijual pernak-pernik khas
daerah tersebut. Salah satu yang khas adalah mukena krancang tangan. Harganya variasi,
mulai dari 800 ribu sampe jutaan. Juga ada songket Padang, ada yang tenun mesin
ada yang tenun tangan. Yang tenun tangan harganya bisa mencapai 12 juta-an. Kalo
dari Jam Gadang bisa jalan kaki bisa juga naek Bendi kuda. Kami sendiri gak ke
pasarnya, bukan apa-apa, dana cekak bo’, hihihihihihi… Jadi yah… uang sakunya
buat beli oleh-oleh saja ntar deh *gigit jari*
Lanjut, kami ke Goa Jepang. Goa
Jepang adalah bukti sejarah pendudukan Jepang yang masih tersisa hingga
sekarang. Lubang gunung yang berdinding batu keras ini panjangnya puluhan meter
di bawah Jl. Raya Ngarai Sihanok, memiliki rahasia dan keunikan tersendiri.
Saya sendiri ogah masuk, hee.. Capek soalnya. Konon kata temen-temen yang
masuk, lorong masuknya sangat dalam dan
panjang. Ada sekitar 128 anak tangga untuk turun ke bawah sebelum akhirnya
melewati ruang demi ruang Goa Jepang itu. Laksana ”rumah semut tanah”, para
pengunjung akan melewati beberapa lorong gua yang bercabang-cabang. Nah, supaya
gak bingung, disitu disediakan pemandunya. Biaya pemandu ya tawar-menawar. Tapi
waktu itu saya lihat sendiri pak pemandu itu dikasih 30 ribu sama si Uda….uda….hadduuh..
siapa yak namanya, pokoknya orang provinsi yang ngater-nganter kita. Saya manggilnya
“Mas Uda” soalnya, hkhkhkhkk. Dari foto saya tahu, lorong-lorong di terangi
lampu neon. Gua itu panjang sebenarnya satu setengah kilometer, sekarang hanya sekitar 750
meter. Sembari menunggu mereka, saya duduk di taman Panorama. Taman di sekitar Goa
Jepang. Tempatnya asri, banyak pohon rindang, banyak penjual makanan. Kenyang,
saya lanjut lihat lihat toko-toko souvenir sekitar situ. Lumayan…dapat songket
rada murah, hasil tawar menawar maut Mas Uda. Tak lupa futu-futu dengan lanskap
Ngarai Sianok. Ngarai Sianok adalah sebuah lembah curam yang memanjang dan
berkelok dari selatan ngarai Koto Gadang sampai di ngarai Sianok Enam Suku, dan
berakhir sampai Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan yang indah betul.
Jurang ini dalamnya sekitar 100 m membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m. Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau yang dialiri Sungai Sianok yang airnya jernih. Ada pos pemantaunya kalo mau naek dan lihat dari atas, tapi lagi-lagi saya males, capek.
Jurang ini dalamnya sekitar 100 m membentang sepanjang 15 km dengan lebar sekitar 200 m. Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau yang dialiri Sungai Sianok yang airnya jernih. Ada pos pemantaunya kalo mau naek dan lihat dari atas, tapi lagi-lagi saya males, capek.
“Gimana nih, siap kita lewat Kelok
Ampat poloh Ampat??”. Kata Mas Uda
“Readddddyyy……………..”. kompak
jawabnya kecuali saya.
“Ada tas kresek kan? Oke oke Uda,
siap lah….”. Jawab saya sambil mendekap tas kresek siap-siap kalo muntah,
wkwkwkwkwkkwk…. Ndessooo…ndessoo… biarin!
Dari Bukittingi ke Padang, kita akan
melewati Kelok 44. Tapi sebelum sampe Kelok 44, kami melewati Lembah Harau,
indah banget… Dinding-dinding granit setinggi hampir 500 meter menjulang dengan
indahnya. Dibawahnya terdampar sawah hijau, ijo royo royo, dengan pemandangan
atap khas rumah gadang, membuat saya teringat novel Siti Nurbaya karya Marah
Rusli. Filmnya sendiri diputar di TVRI ketika saya masih kecil, dulu belum ngerti jalan ceritanya, dan gak
minat juga nontonnya. Jadi saya baru membaca novelnya ketika saya duduk di SMA.
Bayangan tempat-tempat di novel itu seperti terjawab ketika dalam perjalanan
dari Bukittinggi ke Padang, terima kasih Tuhan telah menjawab rasa penasaran
saya. ^^
Tepat sebelum bertemu dengan kelok
44, kami berhenti sejenak, melihat Danau Maninjau dari ketinggian. Sayang beribu
sayang, saat itu sudah jam 17.30, sudah turun kabut, sehingga tak tampak danaunya.
Dan..akhirnya ketemulah dengan si kelok 44. Kelok 44 adalah suatu jalur
perjalanan darat yang akan kita tempuh bila melakukan perjalanan dari Bukit
Tinggi menuju Danau Maninjau. Jalanan menurun dan berkelok-kelok sejauh 10
kilometer itu melalui 44 kelokan. Kelokannya tajem-tajem, setajam silet! Setiap
kelok itu diberi nomor berurut, mulai dari 44 sampai angka 1. Sepanjang
perjalanan dari Bukittinggi menuju danau ini, kami disuguhin pemandangan yang
sangat indah berupa sawah-sawah yang berbentuk terasiring, pancuran-pancuran
air dari sungai yang bertingkat-tingkat, serta hijaunya deretan Bukit Barisan. Disepanjang
perjalanan di kelok-kelok yang empat puluh empat itu kita akan dapat menikmati
keindahan Danau Maninjau dan sekitarnya. Alhamdulillah….saya gak mabok!
Ihiiirrrr….. *buang tas kresek*
Sampai lah kami di Kab. Agam,
melewati sepanjang pinggir Danau Maninjau. Terasa damai sekali, indah pokoknya.
Di pinggir-pinggir danau terdapat keramba-keramba ikan. Airnya tenang. Rasa sejuk
dan damai itu akhirnya mengantarkan saya pada tidur, huehehehehehe.. Saya
terlelap gak denger apa-apa, tau-tau udah di Padang Pariaman. Sejenak berhenti
untuk makan malam yang lagi-lagi makan masakan Padang, lalu lanjut menuju kota
Padang.
Sampe di Padang pukul 8 malam, karena
besoknya kami pulang dengan pesawat pagi jam 8, maka harus beli oleh-oleh saat
itu juga. Pilihan kami ke toko Christine Hakim. Keripik Balado, krupuk kulit,
Kentang Balado, Rendang kemasan, Kripik Ebi Pedas, masuk semua ke kardus
bergambar Bu Christine Hakim, bukan si artis entuh… beliau ini penguasaha etnik
Tionghoa asal sono. Oiya, toko oleh-oleh Christine Hakim ini dekat dengan
Jembatan Siti Nurbaya. Ketika saya tanya kenapa dinamakan Siti Nurbaya,
dijawabnya
“Ya kalo Siti Marsinah bukan di
Padang lah”
Orang tanya serius juga!
Katanya, jembatan ini indah jika di
malam hari. Sebenernya jembatan biasa. Dari atas jembatan, orang bisa melihat
aktivitas di Pelabuhan Muara Padang dan jejeran kapal-kapal yang berlabuh di
Muara Batang Arau. Panjangnya sekitar 60M. Kalo malam cahaya cahaya lampu di sekitar
jembatan jatuh di permukaan Muara Batang Arau, katanya indah. Disepanjang
jembatan tempat orang-orang hanya sekedar duduk ato nongkrong sambil menikmati
jagung bakar. Tapi kami gak sempat melewati Jembatan Sitti Nurbaya itu, karena
badan sudah remuk redam, rasanya pengen buru-buru meluk kasur dan bantal. Sampai
di hotel sekitar jam 10, langsung teparrr….
Ahh..selesai juga perjalanan kali
ini, besoknya kembali ke Jakarta, bertemu dengan my toddler Qeyla yang sudah
laporan lewat telpon “Bunda aku gak bisa nenen…”, :-( Oke Nak, Bunda pulangg…..
Sampai jumpa lagi di perjalanan
selanjutnya… *macem pemandu wisata saja ekeh*