Gara-gara baca blongnya bulek astri
tentang homeschooling, saya jadi kepikiran. Sebagai seorang Ibu yang berasal
dari keluarga pendidik, saya ingin kelak anak-anak saya mendapatkan pendidikan
yang sesuai dengan minat dan bakatnya, bukan yang terbaik menurut saya.
Baru-baru ini saya tersentak
dengan kebijakan Menkes baru yang membagi-bagikan kondom gratis ke
sekolah-sekolah. Astaghfirullah…. mau jadi apa generasi ini? Belum lagi kasus
Bang Mamat yang punya istri selingkuhan, free sex, demam pamer-pameran gadget,
sampe kasus penusukan oleh seorang anak SD. Kalo mikir ringkesnya sih, udah lah
besok anak taruh aja di Ponpes Assalam atau PP Modern Gontor seperti om-om, tante-tante atau Mbah - Mbah nya terdahulu. Rencana itu sudah
tertata dalam otak saya dan Mas Ahsan, tapi masih jauh.. Saya mau anak-anak
saya besok ke Ponpesnya kalo udah usia SMP atau SMA saja, gak kebayang kalo
usia SD udah jauh dari orangtuanya. Tapi sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini membuat saya puyeng sendiri.
“Anakku Ka’, kalo Sabtu, wes..gak
pernah di rumah, maen terus dari pagi sampe sore, paling pulang buat makan
siang aja. Ya udah tak biarin, lha tiap hari udah sibuk sekolah, dari jam 7
sampe jam 5”. Kata seorang teman kantor saya Mbak Erin.
“Lah emang anaknya kelas berapa?”
“Kelas 3 SD Ka’..”
OMG… masih kelas 3 aja udah
memikul “beban” segitu beratnya? Yang harusnya pulang sekolah itu waktunya
bermain-main, lalu tidur siang, lalu habis mandi sore maen lagi, ini masih di
bangunan sekolah.
Belum lagi ketika saya melihat
kurikulumnya, anak kelas 1 SD kok udah di ajarin calistung, udah di ajarin
membaca, kacrut.. kacrut… Padahal kata
seorang teman saya yang dulu menghabiskan waktu kecilnya di Swedia sampai kelas
5 SD, disana kelas 4 SD itu baru di ajarin tentang angka, belum ada tuh
apalan-apalan tentang ibukota Negara-negara, mata uang negara-negara, dsb. Pun
ketika saya melihat buku-buku pelajaran luar negeri hasil oleh-oleh Bapak kalo
sepulang dari seminar ke berbagai Negara, buku-buku setingkat SD itu masih
berisi gambar-gambar menarik, penuh warna, dan isinya bukan teks-teks panjang
yang harus di hapalkan, tetapi hanya berisi pertanyaan-pertanyaan menganalisa,
hanya sedikit teks, paling banyak dua paragraph.
Cerdas itu bukan sekedar bisa
menghapalkan jawaban-jawaban dari soal yang diberikan oleh gurunya. Kita sering
menggambarkan cerdas itu dengan IDE atau lampu bolam yang menyala terang dengan
kata “AHA”, betul kan ya? Itu berarti definisi cerdas adalah bagaimana anak
bisa memecahkan masalah, kasus-kasus dan persoalan yang di hadapinya. Faktanya,
disekolah-sekolah dalam setiap soal-soal ujian yang diberikan hanya ada 1
jawaban yang benar untuk di hapalkan, dan dijawab saat ujian. Jika jawabannya
diluar itu maka di anggap SALAH. Anak-anak tidak boleh berpikir beda, apalagi
punya ide-ide yang brilian untuk menjawab sesuai nalar dan pengalamannya.
Akibatnya generasi anak-anak Indonesia menjadi generasi penghapal, tidak berani
berpendapat beda, tidak punya inisiatif untuk berbuat sesuatu dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang di hadapinya, lebih banyak bengongnya.
Ketika meluncur ke webnya Ayah
Edy, dan membaca buku-bukunya Ayah Edy (Indonesia Strong From Home) makin
terbukalah pikiran saya, ternyata apa yang ditulis bulek Astri di blognya itu
masuk akal. Ujung-ujungnya saya ngomong ke Mas Ahsan. Reaksi pertama Mas Ahsan
adalah :
“Amit-amit deh dek nyekolahin
anak homeschooling”
Hmm…. Gak bisa nyalahin Mas Ahsan
juga sih berkomentar pedes seperti itu, karena eh karena.. Mas Ahsan pernah
punya pengalaman sendiri ngajar anak-anak homeschooling, heee.. Jadi dulu waktu
masih di Pare Kediri, lembaga kursusnya kedatangan rombongan anak-anak
Homeschoolingnya Bunda N**o W***sm*an. Nah, Mas Ahsan lah yang “megang” tuh
bocah-bocah. Dari hasil pengamatannya, anak-anak homeschooling itu gak ngerti
sopan-santun sama guru, kalo pas di ajar kakinya suka penangkringan, terus
kurang ramah sama orang yang bukan “rombongannya”, pada mengeksklusifkan diri
pokoknya. Pamer-pameran gadget, kalo ketemu guru gak pernah nyapa, apalagi ya
Mas? Lupa.. hee.. Pokoknya minus lah nilainya di mata Mas Ahsan. Oke, lets
check out lebih jauh tentang homeschooling ini ya Yah.. Emang musti banyak baca
referensi, gabung dengan komunitas-komunitas para ortu yang
meng-homeschooling-kan anak-anaknya, kalo perlu ikut trial class nya dulu biar
ngerti betul gimana sih sebenernya metode dan kurikulum homeschooling ini.
Ah, rasanya saya tidak sabar
menanti kelak si Kakak Qey berusia 6 tahun, hee.. masih lama yak, it means
masih ada waktu untuk belajar dan tengok sana-sini. Prinsip saya dan Mas Ahsan
adalah : Jadilah apa yang kamu mau Nak. Entah besok Qeyla mau jadi chef
terkenal seperti Farah Queen, atau jadi perancang busana muslim seperti Dian
Pelangi, atau menjadi tokoh ekonom seperti Sri Mulyani, atau… jadi seorang
penyanyi yang mengharumkan nama bangsa. Apapun itu saya serahkan semua ke anak
kelak, bukan dengan memaksakan kehendak saya harus bisa lulus Ph.D misalnya,
atau harus bisa masuk Harvard University misalnya. Asalkan semua masih positif
dan membawa berkah akan saya dukung 100%, eh 1000% malah.
Namun ketika semua mimpi-mimpi
saya itu tidak bisa “disuguhkan” oleh sistem pendidikan di Negara ini, maka
saya sebagai orangtuanya lah yang mengambil alih. Saya meyakini, setiap anak itu
unik dan istimewa, tidak bisa disamaratakan harus bisa pandai Matematika semua.
Entah kelak saya akan mengambil keputusan akan mengambil homeschooling ini
seperti Ayah Edy dan Kak Seto, masih perlu banyak belajar…. Yuk ah, belajar
dulu saya.. *tutup pintu, tutup korden” :-)
0 komentar:
Posting Komentar